sambungan dari bagian1
Poligami
Seorang Akhi baru saja melangsungkan pernikahan dakwahnya dengan seorang akhwat
yang sama-sama berjiwa aktivis pula. Minggu-minggu awal pun dilalui dengan penuh
ceria, Qiyamul-lail berjamaah, baca Al-Ma'tsurat sama-sama, tabligh akbar
bersama bahkan sampai demo dan longmarch pun dilakukan sama-sama. Suatu ketika
setelah pulang dari suatu acara seminar bertemakan Poligami, pasangan ini
terlibat dalam pembicaraan serius,
"Bagaimana Mi, pendapat Ummi tentang poligami secara umum "
"Abi, secara umum poligami tidak ada nilai buruknya sebagaimana yang digemborkan
banyak orang, bahkan itu merupakan solusi satu-satunya lho."
"solusi bagaimana maksud Ummi ?"
"Maksudnya, coba deh abi lihat, berapa perbandingan jumlah ikhwan dan akhwat, di
Jakarta aja lebih dari 1 : 7, kalau semuanya dapat satu-satu, maka bagaimana
nasib yang tiga lainnya? "
"Kalo Ummi sudah paham, bagaimana kalo kita yang memulai ?"
"Maksud Abi bagaimana ? "
"Abi mau poligami, tapi yang cariin calonnya ummi saja ya."
"Apaa..! abi mau poligami ? "
"Ya dong, khan Ummi sendiri yang bilang tadi, ingat ini juga sunnah Nabi
Muhammad SAW lho.."
"Wah ! kalo begitu abi salah menafsirkan Siroh Nabawiyah, khan Rasul berpoligami
setelah istri pertamanya Kahdijah ra, meninggal.
Nah! Jadi abi boleh menikah poligami sampai empat pun boleh, asal setelah Ummi,
istri pertama Abi ini, meninggal, OK ?"
"Ini pasti Murobbiyah ya yang ngajari..?"
Sang istri tersenyum manja penuh kemenangan
Fatwa Menikah
Suatu sore di akhir Ramadhan, beberapa orang ikhwah tampak sedang bercengkrama
di teras masjid Baitul Hikmah, Cilandak sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Mereka semua adalah para peserta I'tikaf Ramadhan yang datang dari tempat yang
berbeda-beda. Dan mereka kini terlibat pembicaraan serius tentang kegiatan
dakwah di kampusnya masing-masing. Beberapa saat kemudian datang seorang Ikhwah
dengan tergesa-gesa, membawa suatu kabar.
" Assalamualaikum wr wb, Ikhwan semua, antum sudah dengar belum ada fatwa
terbaru dari Dewan Syariah, baru keluar pagi tadi lho !"
Dengan serempak mereka menjawab,
" Waalaikum salam, fatwa terbaru tentang apa akhi ? "
" Tentang Menikah !"
" Menikah ? apa saja isi fatwa tersebut ? "
" Isinya cuma satu pasal tapi penting, bahwa mulai sekarang seorang Ikhwan tidak
boleh menikah dengan akhwat satu kampus."
Semua ikhwah yang mendengar terkejut, dan saling memberi komentar satu sama yang
lain.
"Apa alasannya akhi, khan tidak melanggar syar'i ?"
"Kok bisa begitu, lalu bagaimana sama yang sudah berproses, langsung dibatalkan
ya .."
"Ane kira ini untuk kepentingan perluasan dakwah juga .."
"Kalau ane sih milih sami'na wa atho'na saja.."
Setelah beberapa saat terjadi tukar pendapat satu sama lain, akhirnya sang Akhi
yang datang bawa kabar tersebut dengan mimik serius menjelaskan,
"Tenang Akhi.., fatwa tersebut memang harus di dukung dan ada dalilnya kok,
bukankah Syariah Islam membatasi seorang Ikhwan untuk menikah hanya sampai
dengan empat orang akhwat, maka bagaimana mungkin seorang ikhwah mau menikah
dengan 'akhwat satu kampus' yang jumlahnya ratusan ..!"
Strategi Dakwah
siang itu, seperti biasa, macet. Bus P 4 jurusan BlokM -
Pulau Gadung penuh dengan penumpang.Bus itu penuh penumpang, sebagian
diantaranya berdiri menggantung lengan. Bus merambat pelan seolah masih
menyimpan banyak fasilitas tempat duduk yang kosong. Satu demi satu artis
jalanan mulai unjuk gigi. Menghias panas terik mentari dengan lagu-lagu
bertemakan sosial dan kemasyarakatan. Kadang di hiasai sindiran ala politikus,
tapi kadang dinodai oleh lirik-lirik sendu yang kurang pantas dilantunkan.
Ada yang aneh terlihat. Seorang bapak-seperti dari Madura- setengah baya memakai
batik, peci, dan sarung - khas pendatang baru- duduk di tepi jendela dengan
tenang. Tetapi yang membuat semua penumpang terheran, bapak itu asyik
menjulurkan tangannya ke luar jendela. Bukan sekali dua kali, tapi malah
terus-terusan tanpa beban. Sementara penumpang lain mulai berteriak memberi
peringatan.
"Pak, Hati-hati.. tangan bapak dimasukkan bisa patah kena mobil nanti ." seru
seorang ibu yang duduk di sebelahnya.
"Pak, kemarin ada peristiwa seperti itu. Tangan seorang kakek lepas saat
terjulur keluar dan tersangkut pohon di tepi jalan..hi..ngeri. " seorang lainnya
ikut menakut-nakuti.
Pak Kondektur pun tak tinggal diam. Tampaknya kesabarannya sudah menipis, aksen
batak pun menambah ketegangan.
"Bah, ini orang tak tahu di untung, kalo tak lepas itu tangan, matilah kau."
Tapi sang Bapak tak bergeming sedikitpun. Tangannya masih asyik terjulur dan
mengayun-ayun di luar jendela. Sorot matanya yang lugu pun terkesan percaya
diri. Seolah ia tahu apa yang dilakukan dan apa akibatnya. Sebenarnya apa yang
ada di benak Bapak tersebut ?
Seorang ikhwan yang bergelantung agak jauh dari bapak tersebut segera bereaksi.
Setelah mengamati gerak-gerik, sorot mata, dan mimik wajah tersebut, sang akhi
ikut memperingatkan sang Bapak. Tapi peringatan ini lain dari seruan-seruan
sebelumnya.
Dengan santun sang akhi berteriak ,
"Maaf Pak, kalau tangan bapak nggak di masukkan, nanti sayang lho kalo kena
pohon, bisa hancur dan rusak pohonnya. Apalagi kalo kena tiang listrik, wah
nanti tiangnya patah seluruh bisa padam listriknya Pak. Jadi saya usul
dimasukkin saja pak tangannya, biar nggak terjadi kerusakan nantinya.... "
Mendengar usulan sang akhi tersebut, sang Bapak tampak tersenyum. Ia paham betul
dengan peringatan tersebut. Nampaknya ia sepakat dengan sang akhi. Ia tidak
ingin pohon-pohon dan tiang itu rusak karena ulah tangannya. Makanya dengan
cepat ia tarik tangannya ke dalam bus kembali. Selesai persolan semua penumpang
menjadi lega. Sebagian lain tersenyum sambil berbisik-bisik menduga-duga.
"Oooo..ternyata Bapak ini dari tadi percaya diri karena yakin dengan kesaktian
tangannya tooo.. Alah-alaaaaaaaah. , untung tadi nggak jadi nabrak pohon"
Dalam berdakwah, kita juga harus tahu bahasa yang terbaik bagi setiap orang
tentu berbeda, sesuai dengan latar belakang objek dakwah masing-masing. Bukan
sekedar bahasa dakwah, tapi bahasa dakwah yang terbaik. Akh kita tadi, telah
memberi contoh yang sedemikian nyata. Bisakah anda bayangkan jika tangan sakti
sang Bapak terbentur sebuah pohon besar ?
Masih mau Sekolah
Seorang ikhwan yang baru saja menyelesaikan studi S1 nya menghubungi sang
Murobby. Apalagi kalau bukan untuk meminta sang ustad mencarikan jodoh terbaik
baginya. Tentu saja sang akhi ini tidak sekedar ingin menikah, tapi juga siap
menikah. Lho, apa bedanya ?.
Ingin menikah bagi seorang akhi cenderung bersifat objektif. Artinya ia
menginginkan atau menuntut seorang akhwat -yang akan menjadi istrinya nanti -
untuk tampil dengan performance dan sifat yang terbaik, menurutnya. Bisa jadi ia
ingin seorang akhwat yang harus cantik, tinggi, pintar masak, cerdas, penyabar
dan lain sebagainya. Atau bisa jadi ia menginginkan yang lebih spesifik misalnya
seorang dokter, dosen, hafidzah, atau mungkin yang berasal dari suku tertentu.
Lebih parah lagi jika 'ingin menikah' di sini berarti : ingin menikahi ukhti A,
B atau C. Yang jenis ini bukan berarti tidak boleh. Hanya saja, kurang elegan.
Lalu bagaimana dengan siap menikah? Siap menikah bagi seorang akhi berarti
kesiapan dari sisi subjektif dirinya. Artinya, ia akan mengukur kemampuan
dirinya untuk memimpin rumahtangga, tanpa banyak terpengaruh faktor siapa yang
akan mendampinginya. Dengan bahasa lain, dia punya kesimpulan : " yang penting
ana harus siap dan baik dulu, siapapun istri ana dan bagaimanapun dia, toh ana
juga yang harus membimbingnya ". Yang jenis ini lebih elegan. Artinya siap
mental dalam menikah.
Nah kembali ke cerita sang akhi yang selain ingin, juga siap untuk menikah. Sang
murobby yang dikonfirmasi pun menyambut permintaan ini dengan semangat. Betapa
tidak? bukankah menjodohkan adalah sebuah amalan mulia. Apalagi yang dijodohkan
adalah ikhwan dan akhwat yang masing-masing mempunyai misi dan visi untuk
dakwah?
Maka dimulailah proyek perjodohan yang indah dan terjaga oleh sang Murobby. Dari
mulai tukar biodata sampai ta'aruf belum terlihat ada masalah. Namun ketika sang
murobby mengkonfirmasi kesediaan sang akhwat, ternyata sang akhwat menolak.
Entah sang akhwat punya alasan apa, yang jelas ia hanya bisa beralasan pada sang
murrobby :" Afwan ustad, saya masih mau melanjutkan sekolah dulu.."
Terpukul hati sang akhi mendengar jawaban sang akhwat. Pikirnya dalam hati,
mengapa kalau masih mau sekolah ia bersedia memberikan biodatanya dan bahkan
sampai proses taaruf ?
Sang murrobby pun merasakan hal yang sama. apa gerangan di balik penolakan
ini ?.
Sang Akhi beritikad baik untuk tetap menikah. Sang murrobby pun kembali dengan
senang hati membantu sang akhi. Dilalui proses dari awal sebagaimana yang
pertama tadi. Namun sayang seribu sayang. Kasus penolakan yang pertama kembali
terulang. Masih dengan alasan yang sama : sang akhwat masih mau melanjutkan
sekolah.
Pusing kembali melanda sang akhi kita ini. Dicobanya sekian kali untuk
berinstropeksi: Adakah yang salah dalam biodatanya ? Atau ada kesalahan kah saat
taaruf kemarin ? Ah , rasa-rasanya semuanya begitu lancar, tak ada masalah.
Atau masalah penampilan fisik?. Ah, benarkah itu masih menjadi kriteria yang
prinsip di jaman ini? . Sang akhi bingung, ia benar-benar belum menemukan
jawaban yang tepat atas kasus penolakan dirinya.
Sang murroby tampaknya ikut merasa bertanggung jawab dengan penolakan tersebut.
Mungkin karena merasa kasihan dengan dua kali penolakan tersebut, sang murrobby
pun berinisiatif untuk ambil langkah yang lain. Kebetulan ia mempunyai adik
perempuan yang juga seorang akhwat. Maka setelah mengadakan briefing yang
intensif terhadap sang adik, dimulailah proses perjodohan keduanya. Biodata adik
sang murroby pun berpindah ke tangan sang akhi ini. Dengan seksama di baca semua
point di dalamnya. Tidak lupa dua lembar foto ukuran post card juga diperhatikan
agak lama.
Sang Murobby yang juga kakak sang akhwat terburu-buru untuk menanyakan kesediaan
sang akhi untuk meneruskan proses.
"Gimana akhi, antum bersedia melanjutkan proses ini
Sang akhi bingung bukan kepalang. perasaan kurang sreg dalam dadanya.
Lebih-lebih saat melihat dua lembar foto sang akhwat. Diulang-ulang kembali,
sama saja. Ada rasa kurang berkenan yang muncul terus menerus dan mengganggu.
"Gimana Akhi, sudah siap untuk meneruskan prosesnya ? "
Pertanyaan sang murobby menambah kegalauannya. Keringat dingin mulai menetes
dari dahinya. Ia menunduk agak lama.
Sang akhi merenung sejenak, berinstropeksi. Sejurus kemudian ia mulai mengangkat
kepala. Tersenyum. Baru sekarang ia tahu alasan mengapa dua akhwat yang
terdahulu menolak dirinya: kriteria fisik !! Kriteria fisik , kedengarannya
memang lucu. Tapi ternyata ia selalu menjadi begitu kontemporer. Selalu saja ada
di mana saja dan kapan saja.
"Gimana akhi, bisa di jawab sekarang?? "
Dengan sedikit berdehem, sang akhi menjawab,
"Afwan Ustad, setelah saya pikir-pikir, nampaknya saya " masih mau melanjutkan
sekolah " saja ustad ... "
Lemes tubuh sang murrobby. Namun ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati ia
berkata : Dasar aktifis jaman kini, masih teguh mempertahankan kriteria
fisik!!!. Andakah salah satunya?
selesai...
2 comments:
Mantap Gan, tapi kalo org yg gk ngerti nih cerita susah pahamnx....tapi saya ngerti kok gan ...
haha... cerita ini hanya untuk orang yang memiliki cara berpikir yang jenius
Post a Comment