Bismillahirrahmanirrahim
Jika dicermati, pemaparan al-Qur’an tentang kisah Zulqarnain sangatlah unik. Penguasa besar yang kerajaannya terbentang dari timur hingga barat ini diceritakan hanya dalam enam belas ayat (QS al-Kahfi: 83-98). Itu pun tanpa menjelaskan identitas lengkap, masa pemerintahan dan lokasi kerajaannya. Keunikan ini bukan tanpa alasan. Sayyid Quthb menjelaskan dalam azh-Zhilal, bahwa memang demikianlah karakter umum kisah-kisah al-Qur’an. Tujuan utamanya bukan aspek sejarahnya, melainkan pelajaran (ibroh) yang dapat dipetik darinya.
Zulqarnain adalah penguasa adidaya. Al-Qur’an menggambarkannya dengan singkat tapi jelas, “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.” (QS al-Kahfi: 84). Ayat-ayat berikutnya semakin mengukuhkan kekuasaan Zulqarnaen tersebut. Zulqarnain melakukan perjalanan jauh, dari ujung barat ke ujung timur. lalu perjalanan jauh lainnya ke sebuah negeri asing. Lantas, apa pelajaran yang dapat dipetik dari kisah penguasa besar ini?
Pertama, asas peradaban Zulqarnain adalah ilmu. Menurut Ibnu Abbas, seperti dinyatakan Ibnu Katsir dalam at-Tafsir, as-sabab yang diberikan Allah kepada Zulqarnain adalah ilmu. Dengan ilmu inilah Zulqarnain meningkatkan kemampuan (al-qudrah) dan mengembangkan sarana (al-alah) sehingga mampu mencapai kemajuan-kemajuan besar dalam pemerintahannya.
Kedua, menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan nilai-nilai wahyu. Falsafah hukum Zulqarnain adalah, menghapus kezaliman dengan menjatuhkan sanksi berat kepada pelakunya, dan memberi banyak kemudahan kepada orang-orang yang gemar berbuat kebaikan. "Berkata Dzulqarnain: "Adapun orang yang aniaya maka kami kelak akan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami perintahkan kepadanya, (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami".(QS al-Kahfi: 87-88).
Kebijakan semacam ini sangat efektif dalam membangun kekuatan dalam negeri. Karena ketika orang-orang baik mendapat tempat, kemudahan dan balasan yang setimpal, sementara orang-orang zalim menerima sanksi, dipermalukan dan dijauhkan dari lingkaran kekuasaan, maka rakyat akan termotivasi untuk semakin baik dan produktif. Demikian yang diungkapkan Sayyid Quthb dalam azh-Zhilal.
Ketiga, menjunjung kesetaraan, berbagi kemajuan, dan memakmurkan dunia dengan tetap bersikap rendah hati. Inilah prinsip kebijakan luar negeri Zulqarnain. Terlebih lagi dengan negara yang lebih kecil dan lemah.
Dalam perjalanan ketiga, Zulqarnain tiba di sebuah negeri yang meskipun tampak indah dan kaya akan sumber daya alam, tapi masyarakatnya lemah dan terbelakang. Dikatakan lemah, karena mereka sering menjadi sasaran keganasan Ya’juj dan Ma’juj dan tidak berdaya untuk sekadar mempertahankan diri. Mereka juga terbelakang dalam banyak bidang, terutama budaya dan teknologi.
Ada dua indikator keterbelakangan yang dipaparkan al-Qur’an.
Pertama, mereka tidak menguasai bahasa Zulqarnain sehingga sulit berkomunikasi dengan penguasa besar tersebut, “la yakaduna yafqahuna qaula”. Padahal, sebagai penguasa peradaban dunia kala itu, bahasa Zulqarnain adalah bahasa internasional yang sangat populer.
Kedua, ketika minta bantuan Zulqarnain untuk melindungi mereka dari Ya’juj dan Ma’juj, mereka hanya mengajukan pembangunan sebuah tembok biasa (as-sadd). Padahal saat itu Zulqarnain sudah menguasai teknologi konstruksi tembok dengan material berlapis yang jauh lebih kuat (ar-radm).
Karena lemah dan terbelakang, wajar jika masyarakat ini memanfaatkan momentum kedatangan Zulqarnain, Sang Penguasa Adidaya, untuk mengiba dan memohon bantuan, agar dapat bertahan dan hidup lebih aman. Untuk memenuhi hajat mereka ini, mereka pun ‘nekat’ membayar jasa Zulqarnain dengan kekayaan alam mareka (al-kharj/al-kharaj).
Bagaimana sikap Zulqarnain? Di sinilah Zulqarnain menunjukkan kebesarannya sebagai penguasa adidaya. Dia menolak tegas bayaran tersebut. Baginya, kekuasaan tidak identik dengan keserakahan. Kelemahan dan keterbelakangan bangsa lain tidak dilihat sebagai kesempatan emas untuk mengeksploitasi dan mengeruk habis kekayaan alamnya untuk menunjang kesejahteraan negara maju. Bagi Zulqarnain, kekuasaan adalah amanah peradaban dari Allah SWT yang manfaatnya harus dirasakan oleh seluruh penduduk dunia, "Dzulqarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, (daripada bayaran itu),....” (QS al-Kahfi: 95).
Zulqarnain tidak hanya memberi bantuan gratis, tapi juga melibatkan penduduk setempat dalam proyek berteknologi tinggi yang dibangunnya. Artinya, ada upaya pengalihan teknologi dan peningkatan kemampuan masyarakat terbelakang tanpa pamrih apa pun. Simaklah arahan-arahan Zulqarnain berikut, “Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi.” Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan puncak dari dua gunung itu, berkatalah Zulqarnain, “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi merah seperti api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.” (QS al-Kahfi: 95-96).
Demikianlah, keteladanan yang diberikan oleh penguasa adidaya yang shalih. Kekuasaan tidak menjadi alat negara maju untuk tetap tampil sebagai ‘negara besar’, melainkan amanah peradaban yang harus berubah menjadi rahmat bagi semesta alam.
Iskandar Zulqarnaen ≠ Alexander The Great
Dalam kasus tidak jelasnya identitas Zulqarnain dengan Alexander the Great, tolok ukur yang pertama kita gunakan adalah Al-Qur'an. Sebab ini adalah kitab paling shahih di dunia.
Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Zulqarnain seorang raja muslim yang adil dan pemerintahannya membentang dari barat sampai timur. Dan yang terutama sekali, beliau telah membangun dinding besar monumental yang membentang antara dua gunung. Para ahli sejarah meyakini bahwa bendungan terbuat dari logam itu terletak di pegunungan Kaukasus, kini daerah itu menjadi negara bagian Georgia.
Secara topografi, deretan pegunungan Kaukasus itu memang terlihat memanjang dari laut Hitam, sampai ke laut Qazwin , sepanjang 1.200 km tanpa celah. Kecuali pada bagian kecil dan sempit, yang disebut celah Darial, yang mempunyai panjang 100 meter. di bagian celah ini, Zulqarnain membangun penghalang dari ancaman Ya'juj dan Ma'juj sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran dalam surat Al-Kahfi.
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).
Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Yajuj dan Majuj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara mereka?"
Dzulqarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.
"Berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: Tiuplah (api itu). Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu. Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) membuat lubang darinya. Dzulqarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar". (QS Al-Kahfi : 92-98)
Sedangkan, Alexander the Great dalam sejarahnya tidak pernah diberitakan pernah melakukan hal itu. Bahkan, dia adalah seorang penyembah berhala. Sejarah tidak mencatatnya, sebagai seorang raja muslim yang taat kepada agama tauhid.
Meski keduanya punya nama Iskandar/Alexander, namun keduanya adalah sosok yang berbeda. Sejarawan muslim Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah Wan Nihayah menjelaskan, bahwa antara kedua orang itu terbentang jarak waktu sampai 2.000 tahun. Dan hanya mereka yang tidak mengerti sejarah saja yang bisa terkecoh atas identitas kedua orang itu. (Lihat Al-Bidayah Wan-Nihayah oleh Ibnu Katsir jilid 1-2 halaman 493).
sumber: my facebook
3 comments:
ini tanggapan untuk posting yang lalu...
kenapa postingnya dihapus???
benar banget ...
Sangat berbahaya jika kita bergaul dengan teman yang buruk...
bisa-bisa kita juga jadi buruk...
kunjungi blog baru saya di http://back4you.blogspot.com
Lagi online yach???
beri komentar donk ke http://back4you.blogspot.com
oke cuy
Post a Comment